Siapa Orang Yang Paling Banyak Musuhnya Di Dunia Ini? Orang Baik.

Saturday, 22 May 2010

Sri Mulyani: Saya Merasa Berhasil Dan Saya Merasa Menang
Selasa, 18 Mei 2010, Jakarta mendengar speech yang begitu kuat dan mengagetkan dari Sri Mulyani Indrawati, menteri keuangan yang akan segera mengakhiri jabatannya untuk bekerja di World Bank. Banyak pertanyaan mengapa Sri Mulyani memilih pergi? Apa ada desakan? Apa dia sudah lelah? Di speech ini sedikit banyak alasan itu terungkap.

Terima kasih banyak kepada teman saya Ririn Radiawati, jurnalis Media Indonesia, yang mau meluangkan waktu menulis lengkap speech Sri Mulyani malam itu.

Simak.
____________________________________________________________________________

Transkrip Menkeu di Ritz
;;
Saya rasanya lebih berat berdiri disini daripada waktu dipanggil pansus Century. Dan saya bisa merasakan itu karena sometimes dari moral dan etikanya jelas berbeda. Dan itu yang membuat saya jarang sekali merasa grogi sekarang menjadi grogi. Saya diajari pak Marsilam untuk memanggil orang tanpa mas atau bapak, karena diangap itu adalah ekspresi egalitarian. Saya susah manggil 'Marsilam', selalu pakai 'pak', dan dia marah. Tapi untuk Rocky saya malam ini saya panggil Rocky (Rocky Gerung dari P2D) yang baik. Terimakasih atas...... (tepuk tangan)
;;
Tapi saya jelas nggak berani manggil Rahmat Toleng dengan Rahmat Tolengtor, kasus. Terimakasih atas introduksi yang sangat generous. Saya sebetulnya agak keberatan diundang malam hari ini untuk dua hal. Pertama karena judulnya adalah memberi kuliah. Dan biasanya kalau memberi kuliah saya harus, paling tidak membaca textbook yang harus saya baca dulu dan kemudian berpikir keras bagaimana menjelaskan.
Dan malam ini tidak ada kuliah di gedung atau di hotel yang begitu bagus tu biasanya kuliah kelas internasional atau spesial biasanya. Hanya untuk eksekutif yang bayar SPP nya mahal. Dan pasti neolib itu (disambut tertawa). Oleh karena itu saya revisi mungkin namanya lebih adalah ekspresi saya untuk berbicara tentang kebijakan publik dan etika publik.
Yang kedua, meskipun tadi mas Rocky menyampaikan, eh salah lagi. Kalau tadi disebutkan mengenai ada dua laki-laki, hati kecil saya tetap saya akan mengatakan sampai hari ini saya adalah pembantu laki-laki itu (tepuk tangan). Dan malam ini saya akan sekaligus menceritakan tentang konsep etika yang saya pahami pada saat saya masih pembantu, secara etika saya tidak boleh untuk mengatakan hal yang buruk kepada siapapun yang saya bantu. Jadi saya mohon maaf kalau agak berbeda dan aspirasinya tidak sesuai dengan amanat pada hari ini.
Tapi saya diminta untuk bicara tentang kebijakan publik dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan suatu pergulatan harian saya, semenjak hari pertama saya bersedia untuk menerima jabatan sebagai menteri di kabinet di Republik Indonesia itu.
Suatu penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran, dengan segala upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan, membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.
Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang seperti saya karena saya tidak belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi yang menjadi MC, tentang filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk memahami etika di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai pejabat publik, hari pertama saya harus mampu untuk membuat garis antara apa yang disebut sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya dan keluarga, atau kelompok.
Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky Gerung di filsafat UI untuk pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30 tahun dibawah rezim presiden Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan acak-acakan hubungan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu merupakan modal awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik yang setiap hari harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai makhluk, yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.
Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama dan sampai lebih dari 5 tahun saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik mengenai apa itu kebijakan publik dan bagaimana kita harus, dari mulai berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat keputusan menjadi sangat penting. Tentu saya tidak perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut, tujuan konstitusi, yaitu kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan. Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk dari suatu proses politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya. Disitulah letak bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari kebijakan publik, yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan kita.
Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa adanya pengendalian dan sistim pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti corrupt. Itu sudah dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri sebagai pejabat publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan akan membuat kita corrupt, maka pertanyaan 'kalau saya mau menjadi pejabat publik dan tidak ingin corrupt, apa yang harus saya lakukan?'
Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari pertama, karena begitu khawatirnya, tapi juga pada saat yang sama punya perasaan anxiety untuk menjalankan kekuasaan, namun saya tidak ingin tergelincir kepada korupsi, maka pada hari pertama anda masuk kantor, anda bertanya dulu kepada sistem pengawas internal anda dan staff anda. Apalagi waktu itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar sesadar sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun orang sudah berpikir ngeres mengenai hal itu.
Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu resources yang omsetnya tiap tahun sekitar, mulai dari saya mulai dari 400 triliun sampai sekarang diatas 1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati 3000 triliun lebih.(batuk2) Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau bicara uang terus langsung....(ada air putih langsung datang diiringi ketawa hadirin).
Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance. pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang yang begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seoalh-olah menjadi barang atau aset miliknya sendiri.
Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai bagaimana kita harus membuat garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada diri kita sendiri dan dalam, bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan tidak membolehkan perasaan ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk meng-abusenya.
Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih menganggap bahwa juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut tekhnokrat tapi ternyata 'bau'nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi lebih-lebih. Jadi saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label. Tapi berdasarkan genuine product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.
Nah, di dalam hari-hari dimana kita harus membicarakan kebijakan publik, dan tadi disebutkan bahwa kewenangan begitu besar, menyangkut sebuah atau nilai resources yang begitu besar. Kita mencoba untuk menegakkan rambu-rambu, internal maupun eksternal.
Mungkin contoh untuk internal hari pertama saya bertanya kepada Inspektorat Jenderal saya. "Tolong beri saya list apa yang boleh dan tidak boleh dari seorang menteri." Biasanya mereka bingung, tidak perndah ada menteri yang tanya begitu ke saya bu. Saya menetri boleh semuanya termasuk mecat saya.
Kalau seorang menteri kemudian menanyakan apa yang boleh dan nggak boleh, buat mereka menjadi suatu pertanyaan yang sangat janggal. Untuk kultur birokrat, itu sangat sulit dipahami. Di dalam konteks yang lebih besar dan alasan yang lebih besar adalah dengan rambu-rambu. Kita membuat standart operating procedure, tata cara, tata kelola untuk membuat bagaimana kebijakan dibuat. Bahkan menciptakan sistem check and balance.
Karena kebijakan publik dengan menggunakan elemen kekuasaan, dia sangat mudah untuk memunculkan konflik kepentingan. Saya bisa cerita berhari-hari kepada anda. Banyak contoh dimana produk-produk kebijakan sangat memungkinkan seorang, pada jabatan Menteri Keuangan, mudah tergoda. Dari korupsi kecil hingga korupsi yang besar. Dari korupsi yang sifatnya hilir dan ritel sampai korupsi yang sifatnya upstream dan hulu.
Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia pun bisa menyembunyikan itu. Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga sebetulnya bisa membeli sistem. Dia bisa menciptakan network. Dia bisa menciptakan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya. Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung. Karena begitu anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti.
Namun, meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu, dengan menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika. Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu menghianati atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran. Etika itu ada di dalam diri kita.
Dan kemudian kalau kita bicara tentang total, atau di dalam bahasa ekonomi yang keren namanya agregat, setiap kepala kita dijumlahkan menjadi etika yang jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya adalah apakah di dalam domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa dijumlahkan dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu rambu-rambu norma yang mengatur dan memberikan guidance kepada kita.
Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan penderitaan selama menjadi menteri. Karena itu tidak terjadi. Waktu saya menjadi menteri, sering saya harus berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu anggota DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura sungguh-sungguh. Merek emngkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan tenangnya mengatakan 'Ini adalah panggung politik bu.'
Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama saya masih punya dua Dirjen yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai saya. Mereka sangat powerfull. Karena pengaruhnya, dan respectability karena saya tidak tahu karena kepada angota dewan sangat luar biasa. Dan waktu saya ditanya, mulainya dari...? Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya dan yang lain-lain selalu ditanya dengan sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan, "Oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar." Dan saya legowo saja dengan tenang menulis pertanyaan-pertanyaan mereka.
Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak pernah peduli mau dijawab atau tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya itu, "Ibu tidak usah dimasukkan ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu episod drama saja. " Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin orang seperti saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika publik, kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan media memuat, dan tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi guidance? yang mengingatkan kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan. Dan itu sungguh berat. Karena saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat publik, ongkos untuk menjadi pejabat publik, pertama, kalau saya tidak corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah. Tapi yang kedua saya menjadi khawatir saya akan split personality.
Waktu di dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan menjadi lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak saya tidak pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah. Kalau pagi lain nilainya dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi dengan tengah malam. Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal bagi seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara konsisten.
Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara mengenai kebijakan publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan, arahan bagi bagaimana kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu adalah untuk urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan mereka, menaikkan suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi lain kita harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik. Dimana buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double standrart, triple standart.
Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya menjadi executive director di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut birokrat dari negara maju. HAri pertama saya diminta untuk melihat dan tandatangan mengenai etika sebagai seorang executive director, do dan don'ts. Disitu juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk level internasional, mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam proses politik atau proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah masuk dalam domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.
Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah. Dan kalau sampai anda tergelincir ya kebangetan aja anda. Namun waktu kembali ke Indonesia dan saya dengan pemahaman pengenai konsep konflik kepentingan, saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan, dimana kebijakan itu akan berimplikasi kepada anggaran, entah belanja, entah insentif, dan pihak yang ikut duduk dalam proses kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan itu. Dan tidak ada rasa risih. Hanya untuk menunjukkan yang penting pemerintahan efektif, jalan. Kuenya dibagi ke siapa itu adalah urusan sekunder.
Anda bisa melihat bahwa kalau pejabat itu adalah background nya pengusaha, meskipun yang bersangkutan mengatakan telah meninggalkan seluruh bisnisnya, tapi semua orang tahu bahwa adiknya, kakaknya, anaknya, dan teteh, mamah, aa' semuanya masih run. Dan dengan tenangnya, berbagai kebijakan, bahkan yang membuat saya terpana, kalau dalam hal ini apa disebutnya? kalau dalam bahasa inggris apa disebutnya?i drop my job atau apa..bengong itu.
Kita bingung bahwa ada suatu keputusan dibuat, dan saya banyak catatan pribadi saya di buku saya. Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu ternyata yang menimport adalah perusahaannya dia.
Nah ini merupakan sesuatu hal yang barangkali tanpa harus mendramatisir yang dikatakan oleh Rocky tadi seolah-olah menjadi the most reason phenomena. Kita semua tahu, itulah penyakit yang terjadi di jaman orde baru. Hanya dulu dibuatnya secara tertutup, tapi sekarang dengan kecanggihan, karena kemampuan dari kekuasaan, dia mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance, tapi di dalam dirinya, unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika itu barang yang jarang disebut pak.
Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat ini jelas berhubungan dengan beberapa perusahaan. Kebetulan ada beberapa dari yang kita undang, dia adalah komisaris dari beberapa perusahaan itu. Kami biasa, dan saya mengatakan dengan tenang, bagi yang punya aviliasi dengan apa yang kita diskusikan silahkan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di kementrian keuangan. Kebetulan mereka adlaah teman-teman saya. Jadi teman-teman saya itu dengan bitter mengatakan, "Mba ani jangan sadis-sadis amat lah kayak gitu. Kalaupun kita disuruh keluar juga diem-diem aja. Nggak usah caranya kayak gitu."
Saya ingin menceritakan cerita seperti ini kepada anda bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu, bisa dikatakan sangat langka di republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan, kita dianggap menjadi barang yang aneh. Jadi tadi kalau MC nya menjelaskan bahwa saya ingin menjelaskan bahwa di luar gua itu ada sinar dan dunia yang begitu bagus, di dalam saya dianggap seperti orang yang cerita yang nggak nggak aja. Belum kalau di dalam konteks politik besar, kemudian, wah ini konsep barat pasti 'Lihat saja Sri Mulyani, neolib.'
Jadi saya mungkin akan mengatakan bagaimana ke depan di dalam proses politik. Tentu adalah suatu keresahan buat kita. Karena episod yang terjadi beberapa kali adalah bahwa di dalam ruangan publik, rakyat atau masyarakat yang harusnya menjadi the ultimate shareholder dari kekuasaan. Dia memilih, kepada siapapun CEO di republik ini dan dia juga memilih dari orang-orang yang diminta untuk menjadi pengawas atau check terhadap CEO nya.
Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota, propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban seseorang. Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban personal.
Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan dan waktu saya mengatakan sya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat. Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.
Sehingga memunculkan suatu kebutuhan untuk berkolaborasi dengan sumber finansialnya. Dan disitulah kontrak terjadi. Di tingkat daerah, tidak mungkin itu dilakukan dengan membayar melalui gajinya. Bahkan melalui APBD nya pun tidak mungkin karena size dari APBN nya kadang-kadang tidak sebesar atau mungkin juga lebih sulit. Sehingga yang bisa adalah melalui policy. Policy yang bisa dijual belikan. Dan itu adalah adalah bentuk hasil dari suatu kolaborasi.
pertanyaan untuk kita semua, bagaimana kita menyikapi hal ini didalam konteks bahwa produk dari kebijakan publik, melalui sebuah proses politik yang begitu mahal sudah pasti akan distated dengan struktur yang membentuk awalnya. KArena kebijakan publik adalah hilirnya, hasil akhir. Hulunya yang memegang kekuasaan, lebih hulu lagi adalah prosesnya untuk mendapatkan kekuasaan itu demikian mahal.
Dan itu akan menjadi pertanyaan yang concern untuk sebuah sistem demokrasi. Maka pada saat kita dipilih atau diminta untuk menjadi pembantu atau menjadibagian dari pemerintah, Tentu kita tidak punya ilusi bahwa ruangan politik itu vakum atau hampa dari kepentingan. politik dimana saja pasti tentang kepentingan. Dan kepentingan itu kawin diantara beberapa kelompok untuk mendapatkan kekuasaan itu. Pasti itu perkawinannya adalah pada siapa saja yang menjadi pemenang.
Kalau pada hari ini tadi disebutkan ada yang menanyakan atau menyesalkan atau ada yang menangisi ada yang gelo (jawa:menyesal.red), kenapa kok Sri Mulyani memutuskan untuk mundur dari Menteri Keuangan. Tentu ini adalah suatu kalkulasi dimana saya menganggap bahwa sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sistem politik. Dimana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata kawin, walaupun jenis kelaminnya sama. (ketawa dan tepuktangan)
Karena politik itu lebih banyak lakinya daripada perempuan makanya saya katakan tadi. Hampir semua ketua partai politik laki kecuali satu. Dan di dalam bahwa dimana sistem politik tidak menghendaki lagi atau dalam hal ini tidak memungkinkan etika publik itu bisa dimnculkan, maka untuk orang seperti saya akan menjadi sangat tidak mungkin untuk eksis. Karena pada saat saya menerima tangungjawab untuk menjadi pejabat publik, saya sudah berjanji kepada diri saya sendiri, saya tidak ingin menjadi orang yang akan menghianati dengan berbuat corrupt. Saya tidak mengatakan itu gampang. Sangat painful. Sungguh painful sekali. Dan saya tidak mengatakan bahwa saya tidak pernah mengucurkan atau meneteskan airmata untuk menegakkan prinsip itu. Karena ironinya begitu besar. Sangat besar. Anda memegang kekuasaan begitu besar. Anda bisa, anda mampu, anda bahkan boleh, bahkan diharapkan untuk meng abuse nya oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi agar nyaman dan anda tidak mau. (tepuk tangan) Pada saat yang sama anda tidak selalu di apresiasi. P2D kan baru muncul sesudah saya mundur (ketawa, disini dia terlihat mengusapkan saputangan ke matanya).
Jadi ya terlambat tidak apa-apa, terbiasa. Saya masih bisa menyelamatkan republik ini lah.
Jadi saya tidak tahu tadi, Rocky tidak ngasih tahu saya berapa menit atau berapa jam. Soalnya diatas jam 9 argonya lain lagi nanti. Jadi saya gimana harus menutupnya. Nanti kayaknya nyanyi aja balik terus nanti.
Mungkin saya akan mengatakan bahwa pada bagian akhir kuliah saya ini atau cerita saya ini saya ingin menyampaikan kepada semua kawan-kawan disini. Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik. Selama lebih dari 5 tahun saya tahu persis bagaimana proses politik terjadi. Kita punya perasaan yang bergumul atau bergelora atau resah. Keresahan itu memuncak pada saat kita menghadapi realita jangan-jangan banyak orang yang ingin berbuat baik merasa frustasi. Atau mungkin saya akan less dramatic. Banyak orang-orang yang harus dipaksa untuk berkompromi dan sering kita menghibur diri dengan mengatakan kompromi ini perlu untuk kepentingan yang lebih besar. Sebetulnya cerita itu bukan cerita baru, karena saya tahu betul pergumulan para teknokrat jaman Pak Harto, untuk memutuskan stay atau out adalah pada dilema, apakah dengan stay saya bisa membuat kebijakan publik yang lebih baik sehingga menyelamatkan suatu kerusakan yang lebih besar. Atau anda out dan anda disitu akan punya kans untuk berbuat atau tidak, paling tidak resiko getting associated with menjadi less. Personal gain, public loss. If you are stay, dan itu yang saya rasakan 5 tahun, you suddenly feel that everybody is your enemy.
KArena no one yang sangat simpati dan tahu kita pun akan tidak terlalu happy karena kita tetap berada di dalam sistem. Yang tidak sejalan dengan ktia juga jengkel karena kita tidak bisa masuk kelompok yang bisa diajak enak-enakan. Sehingga anda di dalam di sandwich di dua hal itu. Dan itu bukan suatu pengalaman yang mudah. Sehingga kita harus berkolaborasi untuk membuat space yang lebih enak, lebih banyak sehingga kita bisa menemukan kesamaan.
Nah kalau kita ingin kembali kepada topiknya untuk menutup juga, saya rasa forum-forum semacam ini atau saya mengatakan kelompok seperti anda yang duduk pada malam hari ini adalah kelompok kelas menengah. YAng sangat sadar membayar pajak. Membayarnya tentu tidak sukarela, tidak seorang yang patriotik yang mengatakan dia membayar pajak sukarela. Tapi meskipun tidak sukarela, anda sadar bahwa itu adalah suatu kewajiban untuk menjaga republik ini tetap berdaulat. Dan orang seperti anda yang tau membayar pajak adalah kewajiban dan sekaligus hak untuk menagih kepada negara, mengembalikan dalam bentuk sistim politik yang kita inginkan. Maka sebetulnya di tangan orang-orang seperti anda lah republik ini harus dijaga. Sungguh berat, dan saya ditanya atau berkali-kali di banyak forum untuk ditanya, kenapa ibu pergi? Bagaimana reformasi, kan yang dikerjakan semua penting. Apakah ibu tidak melihat Indonesia sebagai tempat untuk pengabdian yang lebih penting dibandingkan bank dunia.
Seolah-olah sepertinya negara ini menjadi tanggungjawab Sri Mulyani. Dan saya keberatan. Dan saya ingin sampaikan di forum ini karena anda juga bertanggungjawab kalau bertama hal yang sama ke saya. Anda semua bertanggungjawab sama seperti saya. Mencintai republik ini dengan banyak sekali pengorbanan sampai saya harus menyampaikan kepada jajaran pajak, jajaran bea cukai, jajaran perbendaharaan, "Jangan pernah putus asa mencintai republik." Saya tahu, sungguh sulit mengurusnya pada masa-masa transisi yang sangat pelik.
Kecintaan itu paling tidak akan terus memelihara suara hati kita. Dan bahkan menjaga etika kita di dalam betindak dan berbuat serta membuat keputusan. Dan saya ingin membagi kepada teman-teman disini, karena terlalu banyak di media seolah-olah ditunjukkan yang terjadi dari aparat di kementrian keuangan yang sudah direformasi masih terjadi kasus seperti Gayus.
Saya ingin memberikan testimoni bahwa banyak sekali aparat yang betul-betul genuinly adalah orang-orang yang dedicated. Mereka yang cinta republik sama seperti anda. Mereka juga kritis, mereka punya nurani, mereka punya harga diri. Dia bekerja pada masing-masing unit, mungkin mereka tidak bersuara karena mereka adalah bagian dari birokrat yang tidak boleh bersuara banyak tapi harus bekerja.
Sebagian kecil adalah kelompok rakus, dan dengan kekuasaan sangat senang untuk meng abuse. Tapi saya katakan sebagian besar adalah orang-orang baik dan terhormat. Saya ingin tolong dibantu, berilah ruang untuk orang-orang ini untuk dikenali oleh anda juga dan oleh masyarakat. Sehingga landscape negara ini tidak hanya didominasi oleh cerita, oleh tokoh, apalagi dipublikasi dengan seolah-oalh menggambarkan bahwa seluruh sistem ini adalah buruk dan runtuh. Selama seminggu ini saya terus melakukan pertemuan dan sekaligus perpisahan dengan jajaran di kementrian keuangan dan saya bisa memberikan, sekali lagi, testimoni bahwa perasaan mereka untuk membuktikan bahwa reform bisa jalan ada disana. Bantu mereka untuk tetap menjaga api itu. Dan jangan kemudian anda disini bicara dengan saya, ya bisa diselamatkan kalau sri mulyani tetap menjadi Menteri keuangan. Saya rasa tidak juga.
Suasana yang kita rasakan pada minggu-minggu yang lalu, bulan-bulan yang lalu, seolah-olah persoalan negara ini disandera oleh satu orang, sri mulyani. Sedemikian pandainya proses politik itu diramu sedemikian sehingga seolah-olah persoalannya menjadi persoalan satu orang. Seseorang yang pada sautu ketika dia harus membuat keputusan yang sungguh tidak mudah, dengan berbagai pergumulan, kejengkelan, kemarahan, kecapekan, kelelahan, namun dia harus tetap membuat kebijakan publik. Dia berusaha, berusaha di setiap pertemuan, mencoba untuk meneliti dirinya sendiri apakah dia punya kepentingan pribadi atau kelompok, dan apakah dia diintervensi atau tidak, apakah dia membuat keputusan karena ada tujuan yang lain. Berhari-hari, berjam-jam dia bertanya, dia minta, dia mengundang orang dan orang-orang ini yang tidak akan segan mengingatkan kepada saya. Meskipun mereka tahu saya menteri, mereka lebih tua dari saya. Orang seperti pak Darmin, siapa yang bisa bilang atau marahin pak marsilam?Wong semua orang dimarahin duluan sama dia.
Mereka ada disana hanya untuk mengingatkan saya berbagai rambu-rambu, berbagai pilihan dan pilihan sudah dibuat. Dan itu dilaporkan, dan itu diaudit dan itu kemudian dirapatkan secara terbuka. Dan itu kemudian dirapatkerjakan di DPR. Bagaimana mungkin itu kemudia 18 bulan kemudian dia seolah-olah menjadi keputusan individu seorang Sri Mulyani. Proses itu berjalan dan etika sunyi. Akal sehat tidak ada. Dan itu memunculkan suatu perasaan apakah pejabat publik yang tugasnya membuat kebijakan publik pada saat dia sudah mengikuti rambu-rambu, dia masih bisa divictimize oleh sebuah proses politik. SAya hanya mengatakan, kalau dulu pergantian rezim orde lama ke orde baru, semua orang di stigma komunis, kalau ini khusus didisain pada era reformasi seorang distigma dengan sri mulyani identik dengan century. Mungkin kejadiannya di satu orang saja, tapi sebetulnya analogi dan kesamaan mengenai suatu penghakiman telah terjadi.
Sebetulnya disitulah letak kita untuk mulai bertanya, apakah proses politik yang didorong, yang dimotivate, yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan tanpa pengadilan. Divonis tanpa pengadilan. Itu barangkali adalah suatu episod yang sebetulnya sudah berturut-turut kita memahami konsekuensi sebagai pejabat publik yang tujuannya membuat kebijakan publik, dan berpura-pura seolah-olah ada etika dan norma yang menjadi guidance kita dibenturkan dengan realita-realita politik.
Dan untuk itu, saya hanya ingin mengatakan sebagai penutup, sebagian dari anda mengatakan apakah Sri mulyani kalah, apakah sri mulyani lari? Dan saya yakin banyak yang menyesalkan keputusan saya. Banyak yang menganggap itu adalah suatu loss atau kehilangan. Diantara anda semua yang ada disini, saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak disini. (applause)
Saya merasa berhasil dan saya merasa menang karena definisi saya adalah tiga. Selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka disitu saya menang. Terimakasih
(standing applause)
(Rrn)

Retrieved from
Aditya Suharmoko http://www.facebook.com/?ref=home#!/note.php?note_id=405703158088&id=546483654&ref=mf

Read more...

Catherine of Aragon (1485 - 1536)

Tuesday, 18 May 2010



Katherine of Aragon: (to Anne and Mary)
"I am Katherine, Queen of England, the King's one true wife and mother of the heir to the throne. Beloved of the people, and beloved of a King you have bewitched."

Katherine of Aragon: (to Anne)
"Let me tell you this. You want me to lie before God, and admit my first marriage was consummated? Well, it was not. You want me to retire, and withdraw my daughter's claim as sole rightful heir to the throne? Well, I shall not. Not in a thousand years. Not if you rack me within an inch of my life. So, I hope you have the belly for a fight, Anne Boleyn, because I'll fight you, every inch of the way."

Her Life
Catherine of Aragon was born into a family of kings and queens and was destined to become one herself. She was betrothed since she was about four years old to the future king of England. She fulfilled this destiny, but became victim of Henry VIII's inability to produce a male heir. For this reason, she was removed from her throne and her marriage annulled. Although, maybe not the most memorable of Henry VIII's wives, she certainly had left a mark on history.

Catherine of Aragon had anything but a typical childhood. Catherine of Aragon was born on December 16, 1485 in Alcala de Henares, Spain. She was the daughter of Queen Isabella of Castile and mighty King Ferdinand of Aragon. Catherine was the youngest of five children, the others being Isabella, Juan, Juana, and Maria. Catherine's childhood experiences were quite fascinating. She witnessed the surrender of the Moors in Granada and Columbus' first voyage to the New World. Also Catherine was able to choose her own badge, which consisted of a pomegranate. This ends up being quite appropriate, because the fruit is hard on the outside, which symbolized Catherine's tough attitude and was soft on the inside, which symbolized fertility.

Catherine received an education typical of women in the fifteenth century. She was taught religion, housewife skills, and literacy in Spanish and Latin. She was a well-read child and she watched her parents deal with diplomatic and militaristic issues. In 1489, arrangements were made between Spain and England that betrothed Catherine of Aragon to Arthur, Prince of Wales, who was next in line to receive the English crown. This betrothal was made in order to keep the peace between two of the most powerful nations of Europe.

Tragedy struck the family in 1498 when Catherine's sister, Isabella, Queen of Portugal, died in childbirth. Although this tragedy hurt the royal family of Spain, in 1501, Catherine left Spain for England to marry Prince Arthur. They were married on November 14, 1501. The marriage was short because Arthur had died on April 2, 1502.

Her first marriage created much debate on whether or not it was consummated, because Catherine agreed to a second marriage to Arthur's brother, Henry VIII. Financial matters dealing with Catherine's dowry and King Henry VII kept the two from marrying until the king's death on April 21, 1509. Catherine and Henry VIII were married on June 11th, 1509. Henry was then crowned on June 24th, which made Catherine, Queen of England.

Catherine was very much an ideal queen. She was supportive of her husband, and like him, she enjoyed music and dance. As queen, Catherine managed the royal household, cared for Henry's linen and wardrobe, ran her own estates, and often supervised in royal business. She also took time and effort to provide the poor with money, clothes, food, and fuel in the winter. She was the only person Henry could confide to in the first few years of their marriage. For the first five years of their marriage, Catherine acted as the Spanish ambassador to England quite successfully on her own. She held off a Scottish rebellion in England while King Henry was off to war in France.

Queen Catherine bore six children, only one of whom had survived. This was Princess Mary, who would later become Queen Mary I of England also known as "Bloody Mary". The birth of her daughter, was a time of joy for Catherine, but her father, King Ferdinand of Spain had passed soon after. Henry was obsessed with producing a male heir to the throne in order to continue the Tudor dynasty. It became evident to Henry that Catherine would not be able to give him a son. Consequently, Henry tried to secure an annulment of his marriage with Catherine from Pope Clement VII. Catherine was initially given the opportunity to leave Henry VIII peacefully by living out her years in a nunnery. She chose to fight it out in the courts, which ruled against her. Had Catherine acted differently, the religious reformation would have been delayed or might not have come to England at all. The pope would not agree to the annulment so Henry decided to resolve his dilemma by having the archbishop of Canterbury declare his marriage with Catherine null and void on March 30, 1534. Henry then took Anne Boleyn as his new queen. Henry VIII had split away from the Catholic Church and formed the Church of England, and put himself as the head of the church.

Catherine lived out her life at Kimbolton, secluded from Henry and her daughter, Mary. Catherine died on January 7, 1536, at the age of fifty.

Catherine of Aragon had changed the course of history. Had it not been for her, the Protestant Reformation might not have occurred in England. Although, many might think that it was unfortunate for Catherine that Henry had their marriage annulled, it was lucky for her that she did not suffer the same fate as Anne Boleyn and Katherine Howard. And her daughter Mary, did become Queen of England.

Retrieved From
http://departments.kings.edu/womens_history/cathyaragon.html

Read more...

A Distraction Before Final Test; "I'm Having Fun With Rage Thread FFFUUUUUUUUAHAHAHA."

Friday, 14 May 2010

My favorites;










And here they are, my own rageworks hahaha!!!! ;





Well it's sort of a happiness though :) :DDDDDDD

Read more...

Even Julia Bought Lennon His First Guitar.

Friday, 16 April 2010


“The art of mothering is to teach the art of living to the children.” (Elaine Heffner)

There’s a time when you are forced to press the backward button on your life tapes. Then, there’s a time when this growing emphasis leads us to turn back into the latest remembrance of your childhood time, and when you already felt that it was the longest-time-ago of your memorial incidence that you ever really tried to remember about, a figuring sketch in my mind is always about the time when me and her went to the branch of Indonesia Red Cross in one city where I was born and grew up there, and found myself was injected by a needle around my middle finger. I forgot in what age it was but taken by the result, it was determined that we both had the same blood type despite of the other family members. That was the first time that I knew the word of similarity.

Undeniably, if you could give me a question about whom I stay on this until today is for, I will nail the answer that it is for her. Yes, someone who I may not talk in harsh manner with when the fight starts because if I do, it will only be broken to the pieces but never get the problem solved. Regrettably, I often do that.

She is the one whose face will never be agreed to be as same as mine by people. The most recognizable thing that she differentiates to me is her perseverance and it’s valid for the other children.

In our teen years, I am fat and she was thin. She was a desired girl and I am not.

She is the one who asked me to teach herself “how to get well understood in using a cellular phone in one week” and potentially made me mad just because she could not implement what I’ve taught correctly about sending a message.

Someone who walked one kilometer left behind me in the Singapore roads just because I could not slow down my speed of walk. I was mad at her only because she got fooled by the unoriginal luggage seller there.

She is the one who never cook any meal when my father out of town though she prefers ordering us to buy something outside. Otherwise she will get the cooking time started at 5 PM just because my father will arrive at 9.30 PM.

She is the one whose fried noodle will be finished by me in case she feels full at that time or considering by the level of her blood sugar.

She ever came to my room, hugged me, and cried on me while she told me that she miss one of her daughters out there at that time. Guess what I did, I was mad at her because she didn’t deserve to get acted like that.

Know what, suddenly I feel like there's a Korean guy side in me who cannot show the harmony of affection to the one he loves, it’s pretty ashamed feeling anyway. It’s being proved that there are three words of “mad” in all these paragraphs so far.

She was the one who accidentally knew about my preparation of getting India’s school in case of the phone call for the test and interview rang when I was not at home, I didn’t have a plan to tell anybody though until I was really sure, so I told her to keep quiet and she told me that she was sure.

One message that simply trembled in the presence of the day when my brother left home to study abroad was “don’t forget to turn off the gas stove because she often forgets to do it”.

Few weeks ago, when she accompanied me to return the concert ticket, there was an immense shocking statement that made me kept in the fidgetiness. After our three hours of confronting the rush of Jakarta’s traffic jam, around two kilometers before we got arrived at home, she told me that she forgot to turn off the gas stove. No more words occurred because there was only my imagination that led me to the picture of fire burning attack at my house. I was really worried about and seek for if there were any fire fighter car back and forth on the street. Fortunately, it didn’t happen. I didn’t know whether it was only her forgetfulness because after I checked the stove, it didn’t turn on, I only heard she whispered “God saves me.”

I swear that this is the one that I type with no hesitation and full of no offense. She sat in front of my boyfriend (currently ex-) and listened to him kindly about asking her to break up with me. I guess she was created to ensure me at that time and I was really grateful.

She is a tough woman that I ever met. Although I admire Jacqueline Kennedy Onassis, Amelia Earhart, Condoleeza Rice, Jane Austen, Hillary Rodham Clinton, Gabrielle Bonheur, Hellen Keller, Anne Frank, and other inspiring women that ever lived in this world whether fiction or not but she's a truly splendid sun that I ever had.

Loving her is like three years worth of high school times, it fluctuates to the warm and cold situation, obstacles, fights, affection, friendship, careless and care unites into something which ended to the interdependence of relationship. She is the only one woman whom I had sent a text message ended with “I love you” and I proudly announce that she is my mother.

Read more...

!!! Ending the Marching March.

Tuesday, 30 March 2010

"Demand perfection but never high expectation. Sometimes the expectation only leads you to the disappointment."

Saya tertohok. Beberapa minggu yang lalu, kalimat ini terpampang dengan jelasnya di akun Twitter salah seorang yang saya follow, Mas Ario. Entah mengapa ada rasa getir ketika membacanya, mengingat pada waktu itu sedang dilanda terpaan pesimisme akut. Selalu, orang akan lebih tertarik terhadap perihal sentimentil yang dihubungkan atau secara sengaja dirasuki ke dalam keadaan dirinya sendiri pada saat itu. Begitulah, untuk beberapa manusia.

Apa itu ekspektasi? Apa maksud dari ekspektasi tinggi? Tenang, di sini tidak akan ada bahasan mengenai Teori Ekspektasi yang di kemudian hari dikembangkan oleh Lucas. Namun pada hakikatnya mereka berpijak pada kaki yang sama, yaitu prediksi terbenar dari segala sumber daya yang tersedia. Di mana yang terbenar tidaklah selalu menjadi yang terbaik. Dan yang terbaik tidaklah selalu menjadi yang terbenar bagi orang lain.

Bingung.

Berusaha sok tahu untuk menyimpulkan sesuatu tetapi tersendat di tengah-tengah kata. Jadi, mari kita lupakan saja sejenak haha. Saya sedang tidak ingin berekspektasi. Sudah cukup banyak kekecewaan.

Oh iya, saya sedang senang membaca tulisan-tulisan Iga Massardi di blog-nya. Salah seorang personil dari The Trees And The Wild yang vokalisnya memiliki karakter suara yang sangat amat begitu mirip persis sekali dengan John Mayer, dan yang pasti rekan-rekan sekalian telah ketahui, nama vokalisnya Remedy Waloni. Ya, Remedy. Lalalalalala~

sumber: Mahaka Entertainment @mahakaent.


sumber: Muhammad Asra Nur @cantsaynotohope.

Bulan Maret benar-benar bulan dengan penuh kemeriahan di sana kemari. Ada kemeriahan tugas-tugas yang kian tiada hentinya, kemeriahan ujian tengah semester yang menjadi tonggak pembuktian dari apa yang telah dikerjakan selama 1,5 bulan ini, kemeriahan perhelatan berbagai distraction, hingga kemeriahan konser Immi esok hari (tidak sabar). Saya sedang tidak ingin berekspektasi, maka tukar saja imbuhan "ke-an" pada kata "kemeriahan" dengan kata "semoga". Itu lebih realistis. Dosen Ekonomi Internasional saya mengeluarkan sebuah pernyataan pada awal pembelajaran,

"Biasanya, orang belum berumur 25 tahun itu idealis. Tapi setelah menginjak 25 tahun, mereka akan menjadi realistis."

Ratna Khairunisa, teman saya, berkata bahwa saya "karbitan". Awalnya sukar untuk dimengerti dan diterima, tetapi setelah dijelaskan dengan analogi semacam ibarat buah mangga yang masih keras dan masam namun sudah diperam ke dalam air gula, maka saya mengerti. Sial. Itulah sebabnya, saya selalu berkata bahwa jangan tertipu dengan wajah. Tetapi tidak ada gunanya juga bagi saya untuk menyalahkan apa yang memang sudah menjadi begini adanya.

Ngomong-ngomong soal usia, beberapa hari yang lalu saya menonton konser salah satu band pop rock orbit-an Pete Wentz. Halah ckckckck. Kalau tidak karena gratisan dan kalau tidak karena berlari sejenak setelah ujian Akuntansi Biaya saya pun tidak akan menonton. Walau opportunity cost-nya cukup besar karena harus memunculkan asumsi bahwa tidak ada ujian Ekonomi Moneter di keesokan harinya, setidaknya ada tiga hikmah yang bisa saya dapat dari perhelatan tersebut bahwa:

1. Berada di tengah gerumulan para remaja masa kini sama saja dengan mencelupkan diri ke dalam pasar persaingan sempurna. Barang-barangnya homogen, dan secara jangka panjang hasilnya benar-benar zero economic profit.
2. Kaos, jeans, sepatu keds, handuk dan tas punggung sudah menjadi outfit yang terlupakan di perhelatan semacam itu.
3. Zaman sudah berubah, Bung!

Untuk itu, mari kita lihat seperti apa zaman di keesokan hari. Selamat tidur.

Cheers :)
Mayang Arum Anjar Rizky.

Read more...

No, I'm not. Yes you are.

Sunday, 14 February 2010


Beberapa hari yang lalu, saya terduduk dan bersender di salah satu pojok bagian dari gedung di tempat saya mengambil studi. Tidak sendiri, tidak juga bergerombol. Ditemani dengan sebuah laptop yang saya pangkukan di atas kaki saya, beberapa buku, pensil, kertas-kertas berserakan, penghapus, tas, dan kacamata yang hanya saya geletakkan di atas lantai. Tidak saya pakai, karena untuk kesekian kali saya merasa gembira bahwa benda blur yang ditangkap oleh mata ini akan mengantarkan saya untuk tidak selalu melihat segala sesuatu secara detil, karena terkadang kita perlu beristirahat sejenak dari kenyataan yang sempurna.

Kata "ditemani" sebelumnya tidak hanya berlaku sebagai sebuah personifikasi untuk menganggap beberapa benda yang disebutkan tadi sebagai teman, tetapi juga secara harfiah. Karena empat orang teman yang berwujud manusia berada di dekat saya; dua orang wanita yang saya kenal seiring dengan kehidupan di tempat saya mengambil studi pada saat ini, satu orang teman masa sekolah semenjak empat tahun lalu yang harus saya akui pada akhirnya adalah bahwa ia seorang kakak kelas saya di masa Sekolah Dasar, dan satu orang wanita lagi yang merantau ke Kota Pelajar namun kebetulan sedang melakukan kunjungan sebelum pada esok harinya ia kembali ke ranah kota pilihan studinya. Kami duduk, bercerita, tertawa, dan saya tetap melakukan kegiatan itu seiring dengan mengerjakan tugas kelompok mata kuliah Ekonomi Internasional yang menurut saya lumayan menguras pikiran bagi mahasiswi tidak bervisi seperti saya.

Jari-jemari tetap beradu ke dalam susunan huruf yang ada di keyboard, sesekali saya menengok ke kertas tulisan jawaban yang telah saya buat sebelumnya, sesekali melihat ke arah teman saya yang sedang bercerita, dan sesekali saya ikut menimpali. Dalam hening di alam pikiran saya terlintas, saya benci melakukan kegiatan multitasking, di mana jika kita mempenetrasikan diri ke dalam sebuah grammar bahasa Inggris, akan terbentuk sebuah tense yang diistilahkan sebagai past continous tense dengan ciri-ciri munculnya adverbial clause(s) di tengah kalimat tersebut. Maaf jika terlalu berlibet, tetapi pada akhirnya saya menemukan sebuah peribahasa yang tepat untuk menunjukkan kondisi pada waktu itu yaitu sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Ya, saya tidak suka melakukannya. Tetapi naif juga bagi saya jika tidak mengakui bahwa hal-hal semacam itu tidak harus dibiasakan dari sekarang, dan saya memang sudah terbiasa. Dan lagipula, saya pun sudah terbiasa untuk melakukan sesuatu yang tidak saya sukai. Dengan begitu, saya akan belajar banyak hal, salah duanya untuk mencoba mengenal segala sesuatu dari sisi yang lain serta melatih keikhlasan. Ya, begitulah hidup. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.

Teman pria saya itu bercerita mengenai suatu hal dan hendak menguji kadar kegilaan di dalam diri saya. Di dalam ceritanya tersebut, alkisah terdapat seorang anak yang baru saja kehilangan ibunya. Hingga pada saat di pemakaman, ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya yang amat mendalam. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena melalui proses di pemakaman itu pulalah, anak tersebut bertemu dengan seorang lelaki yang amat mengganggu pikirannya untuk beberapa hari kemudian karena ia jatuh cinta pada lelaki tersebut. Tetapi sayangnya, lelaki tersebut hanya dapat diketemuinya di pemakaman, ia tidak dapat menemuinya di tempat lain kecuali di pemakaman. Hari demi hari pun berlalu. Dan pada suatu waktu, anak tersebut membunuh kakaknya. Selesai, titik.

Cerita berakhir di situ, tetapi teman saya tersebut tetap tidak berhenti berbicara, dia menanyakan pada saya mengenai alasan anak itu membunuh kakaknya. Tidak ada alasan apapun yang terlintas secara spontan di dalam benak saya selain karena anak tersebut ingin datang ke pemakaman. Perlahan teman saya itu semakin bersemangat dan menanyakan sekali lagi alasan anak itu membunuh kakaknya. Saya menjawab,

"Ya karena dia pengen ke pemakaman."

Teman saya itu pun kembali semakin bersemangat dengan ditaburi raut wajah yang penuh kaget, dan kembali saya tekankan padanya bahwa menurut saya anak tersebut membunuh kakaknya karena ia ingin datang ke pemakaman dan bertemu dengan lelaki yang hanya dapat diketemuinya di pemakaman.

Raut wajahnya yang semula bersemangat, kaget, berubah menjadi takut untuk sepersekian detik. Ia tersenyum licik seketika, dan mengatakan bahwa saya memiliki kecenderungan sebagai seorang psikopat. Bagaimana bisa? Jawaban saya itulah yang mengindikasikan saya memiliki kecenderungan tersebut, dan ia semakin mempertajam keyakinannya bahwa saya memiliki kecenderungan tersebut dengan mengatakan bahwa cerita seperti ini sudah dilakukan oleh beberapa ahli di luar negeri untuk menguji kadar kegilaan seseorang.

Saya tetap keras hati dan tidak percaya dengan menunjukkan berbagai argumen yang dapat membela saya, karena ia mengambil studi hukum, maka saya istilahkan bahwa saya sedang memberikan pledooi di depannya. Karena pada saat itu saya merasa sebagai seorang tersangka yang telah diberikan vonis bahwa saya mengidap kegilaan hanya karena sebuah tes uji coba yang sudah dilakukan oleh beberapa ahli namun belum tentu akurat bagi saya. Untuk itu saya bertanya padanya jika hasil jawabannya bukanlah seorang psikopat, maka jawaban apa yang seharusnya keluar dari mulut saya. Lalu dia menjawab,

"Ya apa kek, karena kakaknya ngebunuh ibunya kek, atau karena kakaknya ngebunuh laki-laki yang di pemakaman."

Saya tetap tidak percaya dan memutuskan untuk bertanya pada teman wanita lain yang ternyata telah melakukan uji coba tersebut sebelumnya, dan pada saat itu ia menjawab bahwa anak tersebut membunuh kakaknya karena kakaknya terlibat asmara dengan laki-laki yang ia temui di pemakaman.

Jadi, silahkan disimpulkan sendiri, boleh dipercaya, boleh juga tidak. Saya sih jelas tidak.

:')

Cheers,
Mayang Arum Anjar Rizky.

Read more...

"You're Different." said Boy Capel.

Monday, 8 February 2010

"Coco’s attempt to evade the power of men over her life by dressing like a man, and her imitation of masculine fashions in the clothing she designs feel self-evident to a European or American viewer."


-The Daily News Egypt






"She likes dresses with no corsets, hats with no feathers, that's my Coco."

-Étienne Balsan

Read more...

Belagak Sotoy Padahal Ngga Ngerti.

Monday, 1 February 2010

Ada 5 yang gue jagokan di Grammy kali ini.

* Bruce Springsteen
* Imogen Heap
* Phoenix
* Dave Matthews Band
* Brendan O'Brien

Sebenarnya tambah 1 lagi kesukaan gua, Jason Mraz. Tapi entah kenapa jujur saja, rasa kagum gue menurun dengan beliau haha. Barangkali dikarenakan lagunya udah sering banget diputar-putar di mana-mana dan semakin banyak orang yang suka. AH! Sayang sekali, padahal judul Blog ini kan The Remedy, dijiplak plak plak dari judul lagu Jason Mraz yang pertama kali membuat gue jatuh cinta padanya. Tapi ngga papa, selama ia masih berkarya, saya masih akan tetap menikmati walau jenuh.

Kategori Album of The Year:
Sayang sekali Big Whiskey and the Groogrux King-nya Dave Matthews harus kalah dari Fearless-nya Taylor Swift. Tapi emang saingannya berat sih, ada The Fame-Lady Gaga, The E.N.D-Black Eyed Peas, sama I Am... Sasha Fierce-Beyonce. Tapi tetap saja dari kesemuanya gue lebih milih Dave Matthews. Haha subjektif.

Kategori Best Male Pop Vocal Performance:
Make it Mine-nya Jason Mraz mengalahkan This Time-John Legend, Love You-Maxwell, If You Don't Know Me By Now-Seal, dan All About the Love Again-Stevie Wonder. Boseeeeeeeeen dengerin Jason Mraz.

Kategori Best Pop Collaboration with Vocals:
Lucky-nya Jason Mraz & Colbie Caillat berhasil mengalahkan Sea Of Heartbreak-nya Rosanne Cash & Bruce Springsteen, Love Sex Magic-nya Ciara & Justin Timberlake, Baby, It's Cold Outside-nya Willie Nelson & Norah Jones, dan Breathe-nya Taylor Swift & Colbie Caillat. Sama aja, bosen gua.

Kategori Best Pop Instrumental Performance:
The Fire-Imogen Heap kalah dari Throw Down Your Heart-nya Béla Fleck. Yang nominasi lainnya, gue ngga ngerti haha udah tingkat tinggi seleranya.

Kategori Best Solo Rock Vocal Performance:
Yak, Working on A Dream-nya Bruce Springsteen ngalahin Prince sama Bob Dylan. \m/

Kategori Best Rock Song:
Gue suka deh lirik 21 Guns-nya Green Day, menohok. Tapi kali ini subjektif, jadi gue manjagokan Working on A Dream-nya Bruce Springsteen. Tapi ternyata, kalah. Hahaha. Yang menang songwriters dari Use Somebody-nya Kings of Leon.

Kategori Best Rock Album:
Yak, Reprise dengan 21st Century Breakdown-nya Green Day berhasil mengalahkan Columbia Records dengan Black Ice dari AC/DC, Interscope dengan No Line On The Horizon-nya U2, serta kalo yang ini wajar RCA Records dengan Big Whiskey And The Groogrux King-nya Dave Matthews Band. Hehe.

Kategori Best Alternative Album:
Nah kalo yang ini dari awal gue sudah memprediksi pasti Wolfgang Amadeus Phoenix-nya Phoenix menggantikan In Rainbows-nya Radiohead tahun lalu. Dan ternyata benar, meskipun saingannya berat ada David Byrne & Brian Eno, Death Cab For Cutie, Depeche Mode, sama Yeah Yeah Yeahs. Tapi Phoenix memang juara :)

Kategori Best Pop/Contemporary Gospel Album:
Ehh Jars Of Clay masuk nominasi loh! Hehe dengan albumnya The Long Fall Bck To Earth. Meskipun kalah, tapi keren juga. Ini band hampir setipe sama Switchfoot, musiknya ber-spiritual relationship yang oke.

Kategori Best Compilation Soundtrack Album For Motion Picture, Television, or Other Viual Media:
Yes, Twilight kalah. Meskipun ada Bella's Lullaby-nya Carter Burwell dan Muse. Tapi entah kenapa agak sensitif karena Paramore banyak ngisi track. Maaf, kembali subjektif. Yaaah tapi emang OST Slumdog Millionaire berhak menang kok, India's invasion ngga hanya di ekonomi saja ternyata tapi juga di dunia permusikan :')

Kategori Best Song Written for Motion Picture, Television or Other Visual Media:
Yah, The Wrestler-nya Bruce Springsteen kalah dari Jai Ho.

Kategori Best Engineered Album Non-Classical:
Ini dia baru namanya penyanyi yang jenius. Engineer-nya artisnya sendiri. Selamat untuk Imogen Heap dengan Ellipse-nya, sungguh tidak sabar melihatmu di Jakarta tanggal 31 Maret.

Kategori Producer of The Year Non-Classical:
Benar kan, Brendan O'Brien menang. Ini dia album-album yang diproduserinya, Black Ice (AC/DC), Crack The Skye (Mastodon), The Fixer (Pearl Jam), Killswitch Engage (Killswitch Engage), dan Working On A Dream (Bruce Springsteen).

Banyak yang ngga setuju ketika Zac Brown Band ngalahin MGMT di kategori Best New Artist. Sabar yaa, penilaian orang beda-beda. Apalagi juri-jurinya. Ini gue berasa udah paling jago aja yah, padahal kalo dilihat-lihat, sisi ke-mainstream-an gue masih ada. Lagian yah, gue tidak malu untuk mengatakan bahwa gue suka pop. Malah justru gue mengakui bahwa gue tidak mengerti jazz. Makanya agak kecewa gue ketika Jason Mraz dateng ke sini di Java Jazz. "Apanya yang jazz?" begitu kira-kira pertanyaan yang ada di kepala anak pop 90-an.

Yaah, mau Grammy kek, gretong kek, cepat kemari Imogen Jennifer Jane Heap! Saya tidak sabar. Lihat list inspirators saya di sebelah, benar-benar berkah tiap tahun. 2008 Switchfoot, 2009 Jason, 2010 (insya Allah jikalau ada uang, bukan kalau jadi) Imogen. Ahhhhh, Float reunian lagi dong bikin album baru di 2011 :)

Read more...

Kado-Kadoan Paling Mager.

Monday, 25 January 2010

Lia punya Tumblr. Labil banget nih anak. Liat aja, gue ngga akan tergoda. Udah cukup Blogspot, gue kan orangnya setia (nyeh?). Pertama kali gue buka Tumblr-nya, entah kenapa postingan-nya dia yang ini yang gue temuin. Dulu gue mau nge-post, tapi udah lupa kata per katanya, jadi mari kita reka ulang.

October 18th, 2008

Lia : "Halo?"
Mayang : "Halo li, lagi sibuk ga?"
Lia : "Engga kok, kenapa May?"
Mayang : "Oh, gapapa. Eia li, gue udah bisa conference call loh! bentar ya lo diem bentar, ada yang mau ngomong"

(diem)

Mayang : "Bentar li, diem bentar dulu yaa"
Lia : "iyeeeee"

(tiba-tiba ada suara berisik, trus ada suara orang)

Mayang : "Halo..?"
Idkwho : "ya..? Halo..?"
Mayang : "Halo, Mas Angga?"
Idkwho : "ya? Halo!"
Mayang : "Halo, Mas Angga, ini Mayang. ini ada temenku yang tadi aku bilang ulang tahun, namanya Lia. Dia suka banget sama Maliq, Mas"

(GUE ------> KAGET, SIOK)

Angga : "Oh iya. Halo Lia?"
Lia : "I-i-iya. Halo? hehehe" (cengengesan ga jelas)
Angga : "Selamat ulang tahun ya, Lia! ulang tahun yang ke berapa nih?"
Lia : "ke-18"
Angga : "Oh masih muda ya. kuliah dong berarti?"
Lia : "Iya, baru semester 1"
Angga : "Kuliah dimana? ngambil jurusan apa?"
Lia : "Di Atma, ngambil psikologi"
Angga : "Oh psikologi. Eh gimana nih ulang tahun? ngadain party ga?"
Lia : "Ah engga, ulang tahunnya di rumah aja hehehe"
Angga : "Yaah masa dirumah aja? party dong party"
Lia : "Hehehehehe" ---> (cengengesan lebih ga jelas lagi)
Angga : "Yaudah sekali lagi selamat ulang tahun ya, Lia. sukses terus!"
Lia : "Amiiin, iya makasih ya Mas Angga!"
Mayang : "Makasih banyak ya Mas Angga!"
Angga : "Iyaaa. Daaah"

(telvon di tutup)

Lia : "MAYAAAAANGGGGG LO NGAPAIN GUE GEMETERAN SEKARANG"
Mayang : "Hahahahahahaha"


Gue merasa sangat romantis (blush). Hahahahahahanying. Karena waktu itu gue ngga bisa dateng ke rumahnya buat ngasih surprise bareng-bareng yang lain jadi mangap ya Li bisanya cuma modal pulsa, nekat, dan bodo amat. Tapi seneng kaaaaaaan (??).

Read more...

This Is a Story About a Girl Meets Friends. But You Should Know Upfront, This Is Not a Love Story.

Sunday, 27 December 2009


“…I count the steps the distance to. The time when it was me and you is so far gone. Another face another friend. Another place another end but I'll hang on…”
-Best Days, Graham Colton

Well it is precisely right for us when we lose someone then we will know how much we care for them. When I was arrived in Jakarta and spent my last two years in one of an elementary school here, I met a girl named Gharini Abhirama. I forgot how we met each other at school but one thing that I always remember about, it took a lot of struggles for us to make friends. Now, after we have been separated for years, I know that I have to lose her in another year, and more.

Yea, I was a smart but also a bad one at my previous elementary school before. So the arrogance led me to be a fucking picky friend. No wonder, I was a little Brainy Bobby who liked to bully a new comer in class and persuade my friends to be bad at her. But considering of my rank at school, my friends bent down at me (evilsmirk). But still, it did not bordered me to have a lot of friends, because since I was a child, I only have one or two best friends but I tried to not be depended on them, so I could socialize with others. Believe it or not, in those ages, I already had a qualification of friends. At school, I have friends for joking and mocking each other every time we had a time break (the Willy & William Twins), a friend but enemy inside because we competed each other to reach the best rank (Faris), a friend that surely friend because she was the one who made me change and always warned me to be a good friend (Alviola), and et cetera.

In case the moving of my family at that time to follow my father in the capital city here, I had to leave all those friends and to adapt to the new environment, not only to study but also to make friends. So, I learned to be a good girl.

Then I met some new neighbor friends who were also my friends at school. We played together when the holidays came, we got to school everyday together, we went to canteen together, sat on the nearby chairs at class, watched Amigos X Siempre after school until we had the same group name as the movie with the boys, got to the mosque to Tarawih or Shubuh pray when the Ramadhan came, played fireworks and had a barbeque time together to celebrate the new year’s eve, all the things that could be done together. I felt like I was accepted, cared, and for some reasons I felt like I was in a comfort zone where I always could find what I wanted. And in the end, I realized it could be the things that I always wanted, but it was not I needed to be somehow.

The thing is, I need the challenging one.

Perhaps it could be called a karma or something like that, because of my bad attitude at the previous elementary school, so at the new elementary school, when I already found my friends, I could not separate myself with them, I was being depended on them. Maybe I was not a person that being bullied, but I could feel how hurt was that thing by learned how to be an empathy one.

Then, there was Gharini Abhirama, yea, the one who could be a person to share everything about, to hear anything what she talked about, to learn something bad then made us good, and all the things that I could improvise myself. We could not be together firstly, because we were on a “different track”. But it was not a problem for us because at that time, what I looked for was happiness, and happiness was not always brought by the togetherness. If you’re unhappy, isn’t it right for you to not have yourself stayed? So I cracked out, even though there will always good or bad impacts every time you make a decision. But as I decided, I took the risks and I paid the consequences.

Day by day, I did an “affair” (ha ha ha) with Gharin. The disgusting one, we had one book which I can still remember the color of this book, black-greenly, and this book could be the place for us to write everything. In a day that book lived at my house, I wrote at night. And in the tomorrow morning, I gave the book to her and that book lived at her house, she wrote something, on and on. One day when I and Gharin were in the nostalgic time, we just laughed at loud about it and thought how freak we were in a childhood time.

I have one belief that every secret will always be cracked whether by the third party or by itself one day. It happened with this “affair” between me and Gharin ha ha. So my used to be friends could not accept the fact that I was out of their controls at that time. But I had learned to say “No” anyway, and tried to explain to them that it was not the kind of way they were begging to me, there were another way of being respect to others though. With all our children’s tears, they freed me. It felt like so somos-libres! I had found what I needed though, a challenging happiness. I could be friends and did something crazy with others like Dean, Gita, Anjani, Lulu, Vita, and all people at school included how to learn about that elementary lovebird stuffs ha ha ha. The point is, it is nice of being crazy and bad with people you trust because at the end you know that you will learn something good and you do not have to understand about their personalities earlier then plan something to make it deal with it, just let it flow, because you can not know the person without being natural with them, moreover in the short time, so let’s chill and I like a quote from Mas Aghi Narottama, “Do not take too serious in life, nobody gets out alive anyway.” So I might probably say that find something challenging.

This is dedicated to you who considered yourself as a friend:
Gharin ever told me in that book, that she did not want to be at the same junior high school with us, this statement was not about loving or not loving, living in egoism or giving a treat, but this was about letting others to learn different things in this world, to understand about expanding dreams and the differences inside of world, the good and bad friends, the things that will lead you to come back home. So raise your dream where in the place you study now, Ghar. Then come back and make your home better.

For your information, when I made it, my eyes opened. Previously, I have one belief that it is a bull when someone says; loving is not always has to own each other. For some reasons I could not believe that because of my experiences in this freaking love thing. I thought that I could not love someone without make him mine, anyway, now I still fall in love with him even though he’s not mine (: After all, it is just a matter of time, someday you will accept the fact that it is right, I do not know how to explain, but I feel it now. There’s someone says “Being realized is easy, the important is how we can accept it.”

Whether it has been glued for a long time or not, but know what, I already accept it.

Read more...

Characters

Sunday, 20 December 2009

Read more...

Aksara Records Tutup!

Friday, 18 December 2009

Dikutip dari rollingstone.co.id


Kabar duka datang bagi mereka para penggemar musik-musik bagus dalam negeri. Label rekaman independen terkemuka asal Jakarta, Aksara Records, yang selama ini menjadi rumah bagi band-band andal seperti Efek Rumah Kaca, White Shoes & The Couples Company, The Brandals hingga SORE mulai akhir tahun 2009 ini akan resmi ditutup oleh pemiliknya.

Selama enam tahun beroperasi, Aksara Records hingga kini telah merilis sebanyak 32 album milik artis indie lokal dan internasional.

“Owner sudah menyatakan tidak akan melanjutkan lagi terjun di bisnis ini,” ujar Aldo Sianturi, managing director Aksara Records, via telepon.

Menurut Aldo, sejak awal 2009 Aksara Records sebenarnya sudah bangkrut dan ketika ia dipercaya untuk mengambil alih kendali bisnis di sana pada pertengahan tahun ini kondisinya sudah tidak dapat diselamatkan lagi.

Aldo menjelaskan seluruh urusan administrasi, royalti dan kontrak rekaman yang berhubungan dengan artis akan diselesaikan secara internal sedangkan hak kepemilikan master album rekaman akan diberikan kepada artis-artis yang berada di bawah roster Aksara Records.

Ketika Rolling Stone coba mengonfirmasi kabar tutupnya indie label bergengsi ini kepada Hanin Sidharta, salah seorang pemilik Aksara Records, ia tidak mengangkat ponselnya dan hanya mengirimkan pesan kalau ia tengah berada di Tokyo, Jepang. “No comments until further notice, Pak,” begitu tulisnya via sms.

Aksara Records yang didirikan Hanin Sidharta dan David Tarigan sejak tahun 2004 merupakan salah satu cabang bisnis yang dimiliki oleh Aksara Bookstores, salah satu chainstore buku terkemuka di ibukota. Rilisan mereka rata-rata fokus pada genre musik eklektik seperti indie pop, electropop, indie rock, jazz hingga triphop.

Rilisan pertama Aksara Records adalah CD kompilasi JKT:SKRG (2004) yang berisi 12 band indie lokal yang dikemudian hari sangat dikenal namanya di seluruh penjuru tanahair. Mereka adalah C’mon Lennon, SORE, The Brandals, The Upstairs, Seringai, The Adams, Zeke & The Popo, Teenage Death Star, Sajama Cut.

Sementara rilisan terakhir Aksara Records adalah album kedua Efek Rumah Kaca bertitel Kamar Gelap yang telah beredar sejak Desember 2008 lalu. Praktis sepanjang tahun 2009 ini tak ada satu pun rilisan lokal yang diluncurkan oleh Aksara Records.

Selain merilis katalog musik milik artis lokal, Aksara Records juga sempat merilis album-album milik artis-artis indie internasional di antaranya Arctic Monkeys, M.I.A.,Vampire Weekend, Thom Yorke, Basement Jaxx, Club 8 hingga The Whitest Boy Alive.

Aksara Records bahkan juga sempat merilis pula album soundtrack dari beberapa film blockbuster Indonesia seperti Janji Joni, Berbagi Suami dan Quickie Express.

Walau Aksara Records berhenti beroperasi namun sebagian karyawan indie label ini telah sepakat untuk meneruskan perjuangan mereka dengan membentuk sebuah label rekaman baru bernama Raksasa Records.

“Ini adalah sebuah label baru yang otomatis akan memiliki cerita baru nantinya. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan Aksara Records,” tegas Aldo.

Aldo Sianturi, David Tarigan dan Dono Firman akan memulai operasional label rekaman baru mereka dengan merilis album terbaru milik White Shoes & The Couples Company pada Februari 2010.

“Hingga kini artis yang telah bergabung dengan Raksasa Records adalah White Shoes & The Couples Company dan SORE,” jelas Aldo yang akan memegang posisi yang sama dengan yang dijabatnya kini di Aksara Records.

Read more...

Any suggestion?

Wednesday, 18 November 2009

Read more...

Friday The 13th: I can do nothing but it's alright because I know you're great

Friday, 13 November 2009

Read more...

Life is getting crazier anyway.

Tuesday, 10 November 2009

"Gue lebih ingin ngadopsi anak ketimbang melahirkan anak."

Hahaha, sontak Ai kaget ketika gue mengutarakan hal itu di tengah-tengah sesi curhat pas Citta, gue, dan Meisha menginap di rumahnya setelah lelah menggerayangi rumah Lia tengah malam untuk memberinya surprise ulang tahun tiga minggu yang lalu.

Well, gue punya alasan juga untuk berkata seperti itu. Bukan karena tidak ingin memperbaiki keturunan atau pun menjaga titipan akan apa yang diberikan oleh Tuhan, tetapi lebih kepada kritisisasi dan kesadaran dalam menanggapi situasi dan kondisi terkini. Cukup ironis apabila nanti di saat gue melahirkan, gue harus menyadari bahwa anak gue tersebut harus menghadapi dunia dengan lebih sangat-teramat tegar ketimbang ibu, nenek, dan buyut-buyutnya. Ibaratnya buyut-buyut diuji dengan kehidupan feodalisme kerajaan, nenek dengan kehidupan kolonialisme penjajahan, ibu dengan kehidupan reformisme kenegaraan, anak dengan kehidupan globalisme besar-besaran, cucu dengan kehidupan yang-yah-kita-lihat-saja-nanti (makin ngawur, udah ngga tau lagi istilah apa yang bagus).

Terkadang pulang kuliah di jalan gue suka mikir sambil melihat kosong ke arah samping kanan (lebay), orang-orang di jalur jalan sebelah ngga stres apa yah harus berhadapan dengan kemacetan dua kali sehari tiap berangkat kerja sama pulang kerja? Plus sekali pergi dan keluar kantor kalo makan siangnya di luar. Deg-degan takut ada yang nyenggal-nyenggol, pas kesenggol dikit langsung bermain dan menyipitkan mata ke orang yang nyenggol, atau bahkan mengeluarkan berbagai macam sumpah serapah dan makian. Begitu gue sampe rumah, orang-orang ngga pening kepala apa yah harus mendengarkan berita buruk setiap harinya di sebagian besar headline berita yang muncul tiap pagi, siang, dan petang, atau bahkan beberapa stasiun TV yang menyiarkan itu berulang-ulang tiap jam? Kasihan bokap gue, beliau mengalami hal itu saat ini. Pergi macet pulang macet begitu sampe rumah di TV beritanya bikin pening kepala.

Ketika bikin ini, kepala gue pusing. Sungguh. Tadinya gue mau ngerangkum tugas Mikroekonomi yang empat chapter itu, tapi gara-gara emak gua nyetel TV kenceng banget sampe pintu kamar gue tutup dengan galaknya terus gue idupin CD kenceng-kenceng saking puyeng sama omongan pembawa acara berita, ehh ujung-ujungnya gue keluar kamar juga terus duduk melongo depan TV sambil mengernyitkan dahi. -____-'

Sejujurnya gue tidak ingin membahas duduk permasalahannya karena pun pengetahuan gue akan dunia kehukuman tidak sebanding besar akan orang-orang itu. Tetapi bukan berarti tidak ingin mengikuti perkembangan, hanya saja keberpihakan di sini lebih kepada sisi manusiawi akan sebuah kebenaran (kok tiba-tiba gua jijik sama diri sendiri). Iya, gue entah kenapa tidak memperdulikan kasusnya lebih dalam, dahulu gue peduli ketika masih bisa dicerna sama otak, tetapi ketika udah mulai muncul pemeran pendukung baru macam Kabareskrim Susno yang akibat keceplosan tertangkap media jadi dihujat habis-habisan, Ong Yuliana, Ary Mulyadi, Ade Rahardja, bahkan Julianto yang hingga kini alis tebal terangkat serta mata sipitnya tidak kelihatan pun sudah membuat gue semakin mual-mual. Sama akan ketidaktertarikkan gue akan serial TV macam Heroes, Gossip Girl, Friends, Beverly Hills 90210, atau bahkan serial drama Korea yang membanjiri kehidupan para muda-mudi remaja pada umumnya. Intinya kayak produser sinetron, semakin diperbanyak episodenya, semakin banyak penontonnya pengen melihat bagaimana akhir cerita.

Gue sebelumnya pernah mengikuti update-an Facebook seorang aktivis muda pejuang nasionalisme yang hingga sekarang masih berkiprah dan yang waktu itu sempat hadir di kampus, tapi akhirnya harus gue remove friends karena gue merasa terganggu dengan status-statusnya yang penuh dengan kritikan terhadap pemerintah yang sebagian besar destruktif. Maka dari itu maaf Pak, saya hapus. Gue rasa media massa saat ini menjadi orang ketiga yang memiliki peran penting sebagai pemeran pendukung terbaik, karena berhasil mengantarkan penontonnya masuk ke dalam era di mana mereka bisa melihat dan menilai langsung. Dan bahkan membuat gue berpikir bahwa mereka pun telah dijadikan alat. Semakin ironis ketika gue menonton berita di TV ada sekelompok anak SD di Jawa Tengah yang melempar-lemparkan mainan buaya ke lantai dan menginjak-injaknya. Dan baru saja beberapa menit yang lalu, ada iklan layanan masyarakat mengenai penyiaran yang dibintangi oleh Kak Seto untuk menghimbau orangtua agar membimbing anaknya dalam memilih tayangan televisi. Phew.

Pada dasarnya gue tidak ingin membuat diri ini menjadi apatis hingga antipati, tetapi memang benar krisis kepercayaan saat ini menjadi masalah utama di dalam diri manusia. Bagaimana tidak, munculnya hoax-hoax yang terkadang hanya digunakan sebagai lelucon bagi para Kaskus-ers itu bisa membuat orang semakin lama semakin menjadi apatis loh. Apalagi dengan maraknya isu-isu yang dijadikan sebagai konspirasi di balik konspirasi dari pihak-pihak tertentu. Ibaratnya lo cuma bisa diam di dalam rumah karena ketika lo keluar, lo ngga tahu harus berpegang atau percaya dengan siapa atau apa.

Walaupun sedih untuk menyetujui kata-kata Pak Faisal Basri tadi bahwa beliau percaya, Kapolri dan Jaksa Agung adalah orang-orang yang baik, namun mereka harus mundur. Jujur ini sama sedihnya dengan ketika gue melihat adegan Alm. Presiden Soeharto membacakan secarik kertas di depan mikrofon pada hari terakhir dirinya menjabat sebagai presiden, gue sedih ketika ada orang yang berkorban akibat perlakuan konco-konco atau bawahannya yang tidak baik. Walaupun kesalahan itu menjadi sebagian dari kesalahan si pemimpin karena tidak berhasil menjaga perilaku anak buahnya dengan baik.

Berhubung gue tidak ingin memprovokasi orang walaupun itu memang benar bahwa jangan mudah percaya dengan apa yang dikatakan orang lain, haha, lebih baik kita sudahi saja pembahasan ini. Hal yang ingin ditekankan hanyalah sebuah keinginan dari dalam diri ini untuk bisa merasakan hidup yang jujur, adil, dan damai di mana hal tersebut memang sulit untuk dijangkau oleh negeri yang penuh bedebah ini seperti kata Adhie Massardi. Yang kalo di dalam Statistika itu ada Type I Error dan Type II Error-nya, di mana yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan. Hoek, gue semakin mual.

Udahlah woy please udahan, kami haus akan berita gembira di TV. Life is getting crazier anyway, dunia udah mau kiamat woy.

Read more...

Can't see it, but can feel it

Tuesday, 6 October 2009

"Love is always patient and kind. It is never jealous. Love is never boastful or conceted. It is never rude or selfish. It does not take pleasure in other peoples sins, but delights in the truth. It is always ready to excuse, to trust, to hope, and to eudure whatever comes."

Landon: Jamie, I'm trying here, OK? Maybe... maybe I miss spending time with you. Maybe you inspire me.
Jamie: Sounds like bull.
Landon: Which part?
Jamie: All of it.
Landon: Well it's not!
Jamie: Prove it.

Jamie: [after she and Landon keep switching the radio station] Forty-two.
Landon: "Forty-two", what do you-what do you mean "forty-two"?
Jamie: Forty-two is "Befriend somebody I don't like". It's a to-do list I have.
Landon: What, like getting a new personality?
Jamie: Spend a year in the Peace Corps, make a medical discovery...
Landon: That's ambitious.
Jamie: ...Be in two places at once, get a tattoo.
Landon: What's number one?
Jamie: I'd tell you, but then I'd have to kill you.

Jamie: You’re acting like a crazy person, what's going on?
Landon: Right now, you're straddling the state line.
Jamie: OK...
Landon: You're in two places at once.

Landon: So, what's your number one?
Jamie: To marry in the church my mother grew up. It's where my parents were married.

Read more...

Pearl Jam and Alice In Chains

Wednesday, 23 September 2009

Read more...

There are too many things in my head

Sedikit pelarian sejenak untuk menulis di blog malam ini karena ngga cuma gue yang capek, ini laptop juga kayaknya udah mulai minta diganti(haha), saking capeknya jadi suka ngehang ketika Tweetdeck, Plurk, dan microblogging site lainnya mulai bekerja rodi. Pertanda, sebelumnya gue browsing tentang tingkatan intel prosesor komputer, dan gue baru menyadari kalo Celeron kurang satu tingkat di bawah Pentium 4 dan Centrino itu bukan nama tingkatan intel prosesor komputer. Silahkan cari semua infonya di internet, ini benar-benar media revolution seperti video Prometeus yang gue dapet link-nya dari temen gue Agni, beberapa hari lalu. Ramalan dan kenyataan yang terjadi selama ini dan yang akan terjadi di masa depan, bahwa ngga akan ada lagi yang namanya analog. Semua serba digital. Bahwa segala sesuatunya akan hadir secara instan, tanpa proses. Canggih, tapi mengerikan.

Kayaknya agak susah dimengerti ya bahasa gue di atas, maklum, lagi on fire banget parah pengen cerita.

Seperti tajuk malam ini(hari ini tepatnya) yang sangat on fire parah. Benar-benar bukan NATO, tapi ATAY (After Talk Action Yes). Kalau dahulu kepanjangannya NATO adalah No Action Talk Only, beberapa waktu yang lalu gue mendapati Mas Aldo menyebutkan bahwa NATO adalah No Action Tweet Only, sebutan untuk orang-orang yang keranjingan menulis status di sebuah situs microblogging yang dengan tanpa sadar duduk seharian di depan laptop atau jari mengetik dengan lancarnya di Blackberry hingga tanpa sadar melupakan kehidupan nyatanya(RealLife) di dunia yang harus dikerjakan. Pertanda lagi, SecondLife. Tahu permainan itu? Semakin mengerikan ya dunia di masa depan.

Iya, lagi pada heboh soal Joko Anwar bertelanjang busana di Circle K. Ngga ingin menyebarkan info, silahkan cari di internet, sudah beredar kok fotonya, bahkan video behind the scenenya sedang di-upload di Youtube.

Sampai-sampai Twitter-nya Johnny Depp bertanya-tanya;
RT @JohnnyDepp: who the hell is jokoanwar? what's hot about him?Im gonna naked&walking around times square tomorrow,

Dan bahkan setelah fotonya tersebar pun, seorang teman gue yang gue sensor namanya menge-nudge gue di MSN;
A**** says:
Mayangg
Kirimin gue picnya joko anwar dongg
Dari tadi gue buka2 ga bisa nihh
Hehheeee


Dan Lia pun ikutan;
lia says:
udah liat fotonya blm may?
Mayango says:
udah2
lia says:
itu beneran ga ya?
parah tweetdeck gue bunyi mulu
RT an orang2


Ada apa dengan orang-orang? Orang Indonesia tepatnya. Semacam guilty pleasure juga buat gue, karena gue ikutan juga parahnya. Inikah hiburan dan cara pemuasan diri kita akan hasrat sebuah keeksistansian di dunia masa kini. Agak lebay sih omongan gue barusan, tapi intinya itu. Agak menohok juga gue ketika melihat Re-tweets dari Goodnight Electric yang didapat dari @senirupa;

Kwikwikwikwi RT @senirupa: Gila nih masa kita nonton twitter sih. Who would have guessed TV getting killed by twitter.

RT@senirupa Everyone who followed @jokoanwar today, we here in Indonesia are now abandoning TV and watching twitter instead. Its more fun!

Mas Gepeng, manajernya Goodnight Electric pernah bilang ke gue;
"Lo kalo mau naro video klip ke TVGE juga bisa." TVGE itu semacam akun buatan Goodnight di Youtube yang isinya muterin video-video klip lagu.

Meeeeeeeen, benar-benar pertanda! Gue udah seringkali dibilangin untuk belajar mengenai media TV mulai dari sekarang, karena benar-benar semua itu akan berubah layaknya ketika dahulu kala TV monokrom berubah menjadi TV berwarna. Gue udah beberapa minggu ini mengumpulkan info dan berita tentang revolusi media TV melalui media internet(lagi) semenjak dihimbau untuk melakukan itu dan bertemu dengan orang yang terjun di dalamnya langsung, waktu itu gue, Agni, dan Mas Aldo meeting sampe jam setengah 1 malem sama manajernya JakTV yang menjelaskan dari A-Z kenapa sekarang muncul TV-TV lokal dan bagaimana akhir tahun ini akan dimulai transisi dari TV analog ke digital. Dan meeting itu benar-benar ngegantung karena udah ngga enak sama penjaga restorannya, udah diliatin dan pelayannya nungguin semua. Benar-benar pertanda bahwa gue harus belajar lebih banyak mengenai ini semua. Kayaknya gue lebih cocok jadi anak broadcasting ketimbang ekonomi (kembali meragukan).

Jadi, kata-katanya Mas Aldo yang selalu diucapin kalo lagi sharing, masa depan itu ngga bisa dikarang, tapi bisa dipersiapkan.

Tapi satu hal yang hingga sekarang membuat gue agak berhati-hati dalam menjalani apapun, yaitu untuk tidak mudah percaya dengan orang lain dan apapun. Karena media, informasi, dan berita di dunia ini tuh sekarang mengerikan, salah satu contohnya tweet-nya Johnny Depp tadi (lol). Cukup menyedihkan ketika gue, anak-anak generasi sekarang dan masa depan harus berteman dengan itu semua.

Read more...

I didn't even do anything, it's just not true

Thursday, 10 September 2009



I wish I could say, I have the reason but I don't have any reason to tell or angry with you. Because it's just based on my feeling and it sounds unlogic when it comes to be shared. I am the one who is very sensitive. All I want from you is only one, the thing is, you can say what you want to say or you like to say, but it's hard for me to accept that when it belongs to myself, my life, and my sense of honour. Maybe you didn't mean to me, but they did. So please, keep your mouth off of forcing them to think wilder about me, it's just not true and it's so irritating. I want my non-chalant side appears but it looks hard for now. Let me free, thank you.

Read more...

When the Voice Within Talks

Thursday, 3 September 2009

Produktivitas gue menurun. Kalo kata seorang teman di kala senang dan susah, Lia, barangkali gue lagi jenuh dan capek aja, jadi butuh refreshing. Refreshing bagi gue adalah bisa berada di rumah sambil nonton tv, baca buku, bikin makanan, atau makan.

Gue seneng deh kalo sewaktu-waktu bisa invincible. Cuma memerhatikan bagaimana orang lain bersikap dan lalu-lalang tanpa harus merasa bersalah. Karena gue suka merasa tidak nyaman ketika terlalu diperhatikan. Itulah sebabnya gue lebih cocok mengerjakan sesuatu yang terletak di belakang layar.

You care in your way. Begitu kata salah satu teman meskipun banyak yang bilang gue terlalu cuek. Nggak apa-apa, terkadang gue puas karena menjadi orang yang cuek, tidak perlu membesar-besarkan yang kecil dan mengecil-ngecilkan yang besar. Yang negatif itu memang ada gunanya jika dilakukan pada saat yang tepat.

Cuek dan sensitif itu bertolak belakang. Tapi gue senang ketika kepekaan atau rasa sensitif gue muncul yang pada akhirnya memberikan suatu pertanda. Sign itu akan hadir kalau kita peka dan tidak terpaksa atau dipaksa. Karena jika dia sudah datang dengan sendirinya, kita bakal terpana.

Satu-satunya cara untuk menghindari agar tidak menjadi bagian dari sebuah keeksklusivitasan adalah, berteman dengan siapa saja. Dari situlah gue belajar memahami, menerima, atau bahkan menilai orang lain.

Ada yang bilang, "Bertemanlah dengan musuhmu, dengan begitu kau akan tahu kelemahannya." Punya musuh atau ngga, bukan menjadi suatu halangan bagi gue, selama tidak mengganggu kehidupan dan gue pun tidak melakukan sesuatu yang dirisaukan, kenapa harus ribet.

Kalo harus disuruh merancang rencana, itu bukan core-competence gue tampaknya. Gue lebih memilih untuk menjadi algojo yang hidup dalam kespontanan. Karena gue harus berhati-hati, apa yang gue rencanakan sering tidak berhasil. Jadi, bersiap-siaplah dengan sesuatu yang tidak terduga sebelumnya.

Pilih salah satu, love what you do atau do what you love. Pasti semua jawabannya yang kedua. Tapi kenapa pengimplementasiannya begitu susah ya? Gue sedang memilah itu semua dan mencari cara untuk finish what you have to, then do what you like to.

Gue sudah pernah ngomong sebelumnya jauh-jauh hari. Tiga negara yang gue kagumi setelah negara gue sendiri, India, Yunani, dan Brazil. Tanpa disadari, beberapa waktu lalu, India datang dan pergi pada akhirnya. Sekarang, Yunani datang dan abang gue akan pergi. Tinggal satu lagi, berhati-hatilah dengan perkataan yang dikeluarkan dari mulut.

Sudah hampir tiga tahun dan bosan dengan alasan "malas" ketika orang-orang menanyakan kenapa masih sendiri? Alasan gue cuma satu sekarang, balas dendam. Terdengar jahat ya, tetapi dengan membuktikan dan membuat orang menyesal suatu saat nanti karena melakukan hal yang bodoh dengan menyia-nyiakan diri kita sendiri itu ternyata memuaskan (lol). \m/

Bertemu dan berbicara dengan orang-orang yang inspiratif adalah impian. Mau sejahat Hitler atau sebaik Prof. Subroto, mereka semua itu orang yang kharismatik. Bisa membantu kita dalam memahami hidup mana yang baik yang harus diambil atau dibuang, dan mana yang buruk yang harus diambil atau dibuang.

Read more...

Beyond the On Air Music Shows Phenomenon in the TV Today

Saturday, 29 August 2009


Photo Credit: Juli Sarisetiati

Dikutip dari notes facebook Aldo Sianturi, August 29, 2009. 07:34 AM

INDONESIA, Bapak Jaya Suprana & Paulus Pangka, Aksara Records berterima kasih atas segala doa dan dukungan yang diberikan. White Shoes & The Couples Company akan mendapat penghargaan dari MURI (Musium Rekor-Dunia Indonesia) sebagai “Band Indonesia Pertama” yang menjalin kontrak kerjasama dengan merilis debut album dengan perusahaan rekaman di Amerika Serikat.

Rencananya penghargaan ini akan diserahkan secara simbolis oleh MURI bersama Menteri Pendidikan Nasional yaitu Bapak Bambang Sudibyo pada Tanggal 30 Agustus 2009, hari Minggu di Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Melalui momentum ini, kami mengharapkan agar generasi Indie di Indonesia bangkit dari masa lalu dan mengukir prestasi membelah kelesuan Industri Musik dengan karya positif.

Debut album White Shoes & The Couples Company telah dirilis dan didistribusikan oleh Indie Label dari Chicago, Minty Fresh Records sejak bulan Oktober 2007. Album ini mendapat sambutan luar biasa disana. Hal ini ditunjukkan melalui berbagai resensi dari media besar dunia di Amerika Serikat seperti: Billboard, PASTE, SPIN, Esquire, Under The Radar, Pitchfork, Yahoo! Music, Amplifier, Popmatters dan Allmusicguide. Setelah sukses dengan debut album, kembali Minty Fresh mempercayakan EP Skenario Masa Muda untuk didistribusikan juga pada Oktober 2008.

Sebelumnya rilisan album perdana ini White Shoes & The Couples Company juga telah menuai penghargaan dari Allmusicguide sebagai “ The 25 Most Crustwothy Band in 2006”, “The 25 Best Band in Myspace in 2007” oleh Rolling Stone.com dan “The Most Blogworthy Band on The Planet in 2007” oleh Yahoo! Music.

Sementara ini White Shoes & The Couples Company tengah bekerja merekam lagu-lagu terbaru untuk album kedua di studio rekaman Pendulum dan Postcard bersama sound engineer Bung Dono Firman (Personil SORE) dan produser Mr. David Tarigan (A&R Director Aksara Records). Single terbaru yang berjudul “Senja Menggila” telah digilai dimana-mana, namun album penuh ini diusahakan untuk dapat dirilis di tahun 2009 oleh Aksara Records.

Take A Bow,
Aldo Sianturi
Managing Director
Aksara Records
www.twitter.com/aksararecords

Read more...

Well, I don't have any reasons to angry with God (Jamie Sullivan)

Monday, 20 July 2009

Everyday I’ve found myself in an uncertainty which accompany me to keep track of my labyrinth path rather than to obtain what it supposed to be. I may be kind of person who does not always get what I want, trying so hard to get the seasonable dreamland, because of this seasonableness then falling into the lower level which next becomes something unexpected. Who is supposed to be blame on then? My early thoughts even hiding in all of their innocent faces, then correctly stumble by my foot on my own banana peels. I want my anger so much more before I swerve myself to another seasonable distraction which emphasizing me into this again and again unfinished purpose. Though they positives, but they ruin me all the time, and it tortures sometimes. I always searching for people’s suggestions before I decide by myself, it does not mean that I always be bent down on them but at least they help me in consideration. Like it was a month ago,

Ok, so you're accepted in a scholarship from India. That is AWESOME!! Congrats. Hmm.... I dunno, it is rele depends on your decision. I’ve been to India and I know the positives and the negatives about that place. However, if you want my opinion, I would suggest you to stay in Indo. That’s just my opinion, you don’t have to take it. Here's the reason. Since you have grown MOST of your life and spend the education in Indo, it’s better for you not to change anything. And if you do, it will be tough for you. It’s like a brain of a baby, it's easy to teach a language/anything to a baby because it has not grasp anything much. But it is harder to teach a fully grown man because it has already grasp much more things in his brain. Lol, you know what I mean right? Again, it's all up to you.

But I couldn’t agree with him for that time, so I ran until a small group of ideas chosen to ensure me off. Absolutely not from me at all, because I one hundred percents believing that this came down from the deepest soul that Lord sent me into. I have another reason, not from my mother who said no, brother who said depends on my willingness to struggle alone there, sister who said yes, friends which mostly said no, cousin who said 6 to 10 for the departure, academic lecturer who said no, or my newly Indian friend which I tried so hard to find her there. This is the proof that I do not always use the chance which comes to me, the proof that I consider before I execute.

Like Buda and Pest, is this the best it gets? How do I know? Is this the best it gets? How do I know? Pretty much I know that this could be the best but then I have to prove it that yes this will be. I am wondering now, how do I teach myself to be focused on when the number allowed is limited. Is it true that pessimism could be the worst way to shatter on even persistence has been built for a long time? I am properly confined to this curiousness before the blaze suggested to be forced on me. Well, three years more here is probably hard enough rather than three years more there (for a challenge seeker’s mind like I have), but it is more challenging for me if I can get through on this. The question is, if this longing is beating my heart now, then should I need to pass it away? Fight against un-patiently feeling is really the best way for me to achieve this what-it-supposed-to-be. Even I am not sure of this supposed-to-be. Because yes, I am doing a job right now, and I count the steps that I take to choose it. No matter how much time, sweat, money, and parents’ approval that I tried for this because I am taking serious on it. So how about my supposed-to-be-thing? It is still on my number one life’s priority but honestly until this time, I do not have any plan to design it into somewhat people are commonly expect. I’m not destined to be that expectation (perhaps—for this time).

Read more...

Aksara on Java Rockin'land 2009

Saturday, 11 July 2009

Dear Friend,

Come and see what the all hype is all about on Aksara Cutting Edge Stage at Java Rockin'land 2009 (7,8,9 August 2009 at Carnaval Beach, Ancol).

We have 24 Indie Bands will perform on 3 days: White Shoes & The Couples Company, SORE, The Adams, Denial, Monkey To Millionaire, Goodnight Electric, Sajama Cut, The Sabotage, The Brandals, Efek Rumah Kaca, Dub Youth, The Borstal, Southern Beach Terror and so much more.

They will be playing their meanest riffs, the hardest breakdowns and the best singalongs plus we sell Special Band Merchandises. Its you're loss if you miss out!

You are able to check the complete line-ups, time table and order your ticket on www.javarockingland.com

We will be upset if you don't, so come and lend us some support! We are coming all this way to play for YOU and no one else. See you there!

Thanks,
Mayang Arum Anjar Rizky
TV Promotion Coordinator - Aksara Records

Read more...

Talking with them, and it won't let your eyes wink normally

Friday, 3 July 2009

Prof. Subroto
Aldo Sianturi
David Tarigan.

Read more...

  © Mayang Rizky The Remedy by Mayang Rizky

Back to TOP