No, I'm not. Yes you are.
Sunday, 14 February 2010
Beberapa hari yang lalu, saya terduduk dan bersender di salah satu pojok bagian dari gedung di tempat saya mengambil studi. Tidak sendiri, tidak juga bergerombol. Ditemani dengan sebuah laptop yang saya pangkukan di atas kaki saya, beberapa buku, pensil, kertas-kertas berserakan, penghapus, tas, dan kacamata yang hanya saya geletakkan di atas lantai. Tidak saya pakai, karena untuk kesekian kali saya merasa gembira bahwa benda blur yang ditangkap oleh mata ini akan mengantarkan saya untuk tidak selalu melihat segala sesuatu secara detil, karena terkadang kita perlu beristirahat sejenak dari kenyataan yang sempurna.
Kata "ditemani" sebelumnya tidak hanya berlaku sebagai sebuah personifikasi untuk menganggap beberapa benda yang disebutkan tadi sebagai teman, tetapi juga secara harfiah. Karena empat orang teman yang berwujud manusia berada di dekat saya; dua orang wanita yang saya kenal seiring dengan kehidupan di tempat saya mengambil studi pada saat ini, satu orang teman masa sekolah semenjak empat tahun lalu yang harus saya akui pada akhirnya adalah bahwa ia seorang kakak kelas saya di masa Sekolah Dasar, dan satu orang wanita lagi yang merantau ke Kota Pelajar namun kebetulan sedang melakukan kunjungan sebelum pada esok harinya ia kembali ke ranah kota pilihan studinya. Kami duduk, bercerita, tertawa, dan saya tetap melakukan kegiatan itu seiring dengan mengerjakan tugas kelompok mata kuliah Ekonomi Internasional yang menurut saya lumayan menguras pikiran bagi mahasiswi tidak bervisi seperti saya.
Jari-jemari tetap beradu ke dalam susunan huruf yang ada di keyboard, sesekali saya menengok ke kertas tulisan jawaban yang telah saya buat sebelumnya, sesekali melihat ke arah teman saya yang sedang bercerita, dan sesekali saya ikut menimpali. Dalam hening di alam pikiran saya terlintas, saya benci melakukan kegiatan multitasking, di mana jika kita mempenetrasikan diri ke dalam sebuah grammar bahasa Inggris, akan terbentuk sebuah tense yang diistilahkan sebagai past continous tense dengan ciri-ciri munculnya adverbial clause(s) di tengah kalimat tersebut. Maaf jika terlalu berlibet, tetapi pada akhirnya saya menemukan sebuah peribahasa yang tepat untuk menunjukkan kondisi pada waktu itu yaitu sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Ya, saya tidak suka melakukannya. Tetapi naif juga bagi saya jika tidak mengakui bahwa hal-hal semacam itu tidak harus dibiasakan dari sekarang, dan saya memang sudah terbiasa. Dan lagipula, saya pun sudah terbiasa untuk melakukan sesuatu yang tidak saya sukai. Dengan begitu, saya akan belajar banyak hal, salah duanya untuk mencoba mengenal segala sesuatu dari sisi yang lain serta melatih keikhlasan. Ya, begitulah hidup. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.
Teman pria saya itu bercerita mengenai suatu hal dan hendak menguji kadar kegilaan di dalam diri saya. Di dalam ceritanya tersebut, alkisah terdapat seorang anak yang baru saja kehilangan ibunya. Hingga pada saat di pemakaman, ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya yang amat mendalam. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena melalui proses di pemakaman itu pulalah, anak tersebut bertemu dengan seorang lelaki yang amat mengganggu pikirannya untuk beberapa hari kemudian karena ia jatuh cinta pada lelaki tersebut. Tetapi sayangnya, lelaki tersebut hanya dapat diketemuinya di pemakaman, ia tidak dapat menemuinya di tempat lain kecuali di pemakaman. Hari demi hari pun berlalu. Dan pada suatu waktu, anak tersebut membunuh kakaknya. Selesai, titik.
Cerita berakhir di situ, tetapi teman saya tersebut tetap tidak berhenti berbicara, dia menanyakan pada saya mengenai alasan anak itu membunuh kakaknya. Tidak ada alasan apapun yang terlintas secara spontan di dalam benak saya selain karena anak tersebut ingin datang ke pemakaman. Perlahan teman saya itu semakin bersemangat dan menanyakan sekali lagi alasan anak itu membunuh kakaknya. Saya menjawab,
"Ya karena dia pengen ke pemakaman."
Teman saya itu pun kembali semakin bersemangat dengan ditaburi raut wajah yang penuh kaget, dan kembali saya tekankan padanya bahwa menurut saya anak tersebut membunuh kakaknya karena ia ingin datang ke pemakaman dan bertemu dengan lelaki yang hanya dapat diketemuinya di pemakaman.
Raut wajahnya yang semula bersemangat, kaget, berubah menjadi takut untuk sepersekian detik. Ia tersenyum licik seketika, dan mengatakan bahwa saya memiliki kecenderungan sebagai seorang psikopat. Bagaimana bisa? Jawaban saya itulah yang mengindikasikan saya memiliki kecenderungan tersebut, dan ia semakin mempertajam keyakinannya bahwa saya memiliki kecenderungan tersebut dengan mengatakan bahwa cerita seperti ini sudah dilakukan oleh beberapa ahli di luar negeri untuk menguji kadar kegilaan seseorang.
Saya tetap keras hati dan tidak percaya dengan menunjukkan berbagai argumen yang dapat membela saya, karena ia mengambil studi hukum, maka saya istilahkan bahwa saya sedang memberikan pledooi di depannya. Karena pada saat itu saya merasa sebagai seorang tersangka yang telah diberikan vonis bahwa saya mengidap kegilaan hanya karena sebuah tes uji coba yang sudah dilakukan oleh beberapa ahli namun belum tentu akurat bagi saya. Untuk itu saya bertanya padanya jika hasil jawabannya bukanlah seorang psikopat, maka jawaban apa yang seharusnya keluar dari mulut saya. Lalu dia menjawab,
"Ya apa kek, karena kakaknya ngebunuh ibunya kek, atau karena kakaknya ngebunuh laki-laki yang di pemakaman."
Saya tetap tidak percaya dan memutuskan untuk bertanya pada teman wanita lain yang ternyata telah melakukan uji coba tersebut sebelumnya, dan pada saat itu ia menjawab bahwa anak tersebut membunuh kakaknya karena kakaknya terlibat asmara dengan laki-laki yang ia temui di pemakaman.
Jadi, silahkan disimpulkan sendiri, boleh dipercaya, boleh juga tidak. Saya sih jelas tidak.
:')
Cheers,
Mayang Arum Anjar Rizky.