Syekh Pujiono

Tuesday 28 October 2008

Berawal dari sebuah milis. Yang pada akhirnya memacu adrenalin untuk memberikan tanggapan mengenai kasus seorang kyai dengan profesinya sebagai pengusaha yang berniat akan menikahi dua orang perempuan yang berumur 7 dan 9 tahun setelah memperistri seorang perempuan berumur 12 tahun.

Dalam hal ini saya tidak mengatasnamakan sebuah agama dalam berpendapat. Bukan karena saya mengabaikan agama yang saya anut, tetapi karena selain agama saya terlalu suci untuk dicampuradukkan ke dalam masalah ini, tetapi juga karena saya sangat menghargai perbedaan dan keanekaragaman serta kemerdekaan dalam beragama. Dan bagaimanapun juga, setiap agama mengajarkan kita untuk memahami segala perbedaan yang ada. Maka dari itu saya akan berpendapat dari sisi sebagai seorang manusia khususnya wanita yang hidup di negara yang bernama Indonesia.

Tanggapan pertama yang terlintas adalah sebuah kalimat setiap orang memang memiliki hak untuk menata kehidupannya sesuai dengan yang diinginkannya. Dan memang pula setiap manusia berhak untuk menentukan jalan kehidupannya masing-masing khususnya dalam urusan berumah tangga apakah akan menikahi seseorang berumur 20 tahun atau menikahi seseorang berumur 5 tahun sekalipun, atau bahkan pria menikahi pria. Tetapi dalam hal ini ketika kita hidup di sebuah negara yang mengenal sebuah peribahasa yang indah yaitu ”Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung” akan mengingatkan kita pada segala aturan, norma, dan kebiasaan yang ada pada masyarakat yang apabila dilanggar akan mengakibatkan gejolak-gejolak positif maupun negatif. Dalam hal ini sikap pro dan kontra. Maka tidak heran jika banyak masyarakat yang memberikan tanggapan terhadap kasus ini. Karena selain melanggar kebiasaan yang ada pada masyarakat, kasus ini juga sebenarnya melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam undang-undang perkawinan yang menyebutkan bahwa batas usia pria maupun wanita yang menikah adalah minimal berusia 16 tahun. Jelas peraturan ini menyimpulkan bahwa tidak ada pernikahan yang diakui oleh negara apabila mempelai berusia di bawah 16 tahun. Apalagi dengan isu poligami yang saat ini masih menjadi hal yang kontroversial bagi(sebagian) masyarakat. Mengenai alasan yang dikemukakan oleh kyai tersebut tentang pernikahannya dengan gadis di bawah umur, ia menuturkan bahwa ia tidak sudi menikah dengan gadis yang sudah kuliah (16 tahun ke atas) karena pasti kelakuannya sudah bejat. Ya, tidak apa-apa kalau memang persepsi yang ada di matanya bahwa gadis yang sudah kuliah a.k.a 16 tahun ke atas adalah kelakuannya sudah bejat, tetapi menurut pandangan saya, setiap manusia itu berbeda-beda tidak bisa digeneralisasikan sebagai satu kesimpulan umum apalagi menyangkut sifat dan kelakuan.

Sekali lagi, saya sangat menghargai perbedaan dan dalam hal ini pula saya sangat menghargai persepsi yang ada di matanya karena(pastinya) ia adalah manusia dan setiap manusia pasti mempunyai pemikiran yang berbeda. Untuk itu, mari kita lihat dari sisi psikologis perkembangan anak.

Perkembangan anak di usia remaja yang sudah menikah pastinya akan memiliki perbedaan dengan perkembangan anak di usia remaja tetapi belum menikah. Misalnya dalam hal pergaulan. Setiap manusia yang masih dalam batas usia dapat disebut sebagai seorang anak-anak, pasti memiliki hak dan kesempatannya untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Ketika anak yang sudah menikah di bawah umur dari yang ditetapkan ini bermain dengan teman sebayanya, akan menimbulkan rasa saling ketidaknyamanan dan kejanggalan di antara mereka. Lantas apakah ia harus bergaul dengan ibu-ibu yang notabene dalam hal ini memiliki kesamaan status dengannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Jadi, cobalah untuk berfikir panjang mengenai kasus ini, karena hal ini tentu akan mengakibatkan berbagai efek samping yang tidak hanya mengganggu kestabilan perkembangan si anak tetapi juga terhadap kemaslahatan sebuah keluarga yang akan dibangunnya.

Pada intinya, semua hal pasti memiliki waktu yang lebih tepat.

3 comments:

Anonymous Tuesday, October 28, 2008 10:54:00 am  

kasian para gadis2 belia itu May. miris deh gue mendengar beritanya, apalagi melihat muka polos gadis yang dinikahi, kasihan

Valeska Saturday, November 01, 2008 12:41:00 pm  

wah lo bijak sekali may dalam menanggapi kasus syekh pedophilia berkedok agama dan finansial ini.

menurut gue mah dia sakit jiwa.

Anonymous Tuesday, March 10, 2009 11:22:00 pm  

ah ! dia bukan syeh puji, namanya saja Puji malah kelakuannya tidak terpuji, kebalik kali yah..... lama-lama tambah kaya tambah juga gilanya.

  © Mayang Rizky The Remedy by Mayang Rizky

Back to TOP